Batik adalah warisan budaya bangsa yang kaya akan makna dan filosofi di tiap goresan-goresannya. Jaman dahulu proses pembuatan batik dianggap sebagai kegiatan yang mengandung unsur kerohanian. Menggunakannya pun tak sembarangan, terdapat aturan khusus yang mengatur hal tersebut.
Saat ini batik semakin populer di masyarakat yang akhirnya berdampak pada permintaan kain batik yang semakin meningkat. Kondisi ini menuntut para pengrajin mau tidak mau harus menambah kuantitas produksi karena faktor permintaan pasar. Akhirnya lambat laun seiring dengan kemajuan teknologi, tradisi membatik tidak hanya dengan metode tulis (batik tulis), namun juga muncul cara cap maupun printing yang lebih singkat dalam proses pembutannya.
Batik yang dahulu dikerjakan dengan penuh kesabaran dan seperti disakralkan, saat ini tidak lagi dapat dikatakan seperti itu. Semula merupakan pakaian yang kaya akan nilai, namun kini berubah menjadi pakaian komoditas. Hal inilah yang membuat para ‘seniman’ batik enggan menyebut batik cap dan tulis sebagai kain batik.
Mereka beranggpan batik yang sarat akan makna haruslah dikerjakan dengan ketelitian, sehingga tidak menghilangkan ajaran atau pandangan hidup yang tertuang didalam motif-motifnya. Batik yang dalam pengerjaannya hanya berorientasi untuk menjadikannya bahan dagangan hanya akan menjadi baju bermotif batik, bukan baju batik.
Sesungguhnya, yang perlu dibangun adalah loyalitas masyarakat terhadap batik. Mencintai batik bukan hanya sekadar mengikuti tren. Mencintai batik berarti juga mengerti maknanya. Batik bukan hanyalah berbicara motif dan fashion, namun batik mengandung berkah dan harapan bagi si pemakainya.